Tolong Hargai, Profesi Kami

skeleton

“Kerja di mana mba, kok sampai malam?”

“Di media, wartawan”

“Oh wartawan, enak dong jalan-jalan terus”

“(Tersenyum tipis)”

“Duitnya juga kenceng sih yah”

=======

Cukup memuakkan bagi saya, mendengar pertanyaan cenderung memojokkan tersebut di telinga ini. Entah sampai kapan, masyarakat kita (di Indonesia) butuh waktu untuk mengubah pandangan mereka tentang profesi wartawan…

Setiap kali mendengar kata “wartawan” logika mereka kebanyakan langsung mengarah kepada “uang panas”. Padahal, esensi keberadaan kami para kuli tinta lebih dari itu.

Coba bayangkan, tanpa kami, apakah masyarakat dapat tahu hal yang terjadi di dunia atau yang terjadi di setiap kota, provinsi, ataupun Indonesia secara nasional?

“Nggak juga, kan ada media sosial.”

Mau jawab seperti itu?

Ya, saya sekadar mengingatkan media sosial saja mengadopsi fungsi media, yakni unsur citizen journalism. Di samping, memang inovator media sosial menyadari, masyarakat modern ini butuh medium yang dapat menjebatani proses komunikasi mereka.

Nah kembali ke masalah pokok…

Dapatkah anda – subyektif anti pers – itu sedikit mencoba memahami kami? Memahami esensi tugas pokok yang kami emban setiap hari.

Terlepas apapun ranah liputan, gender, dan dari media mana kami berasal… kami tetap wartawan. Orang yang bekerja di media massa, meliput, menulis, mengemas, mengedit, hingga memastikan informasi dapat tersedia untuk masyarakat.

Kami, terutama reporter di lapangan, adalah orang yang menjelang tidur sudah disibukkan dengan pertanyaan, “Besok mau nulis apa?” atau “Besok narsum bisa ditanya apa saja?”

Lalu, dipagi hari ketika mengunyah sarapan atau di tengah perjalanan kami pun tetap bergelung dengan pertanyaan yang sama. Sambil sibuk meng-goggle, mengakses website perusahaan A, melihat berita A di situs AIUEO, atau menelusuri tulisan yang lalu dari media sendiri.

Kami juga termasuk orang yang kerapkali dikecewakan. Entah narsum tidak mau mengubris, jawaban setengah hati, atau pihak yang mengundang tidak bisa menjawab lebih dari apa yang mereka sediakan di pers rilis.

Secara garis besar, banyak hal yang harus kami lewati untuk menulis “satu berita”.

Bagaimana mencium isu yang baru dan bagus?

Bagaimana menciptakan alur dan rasa bahasa yang halus?

Serta, bagaimana membuat suatu karya yang dapat dipahami semua pembaca/ penonton?

Entah media online, koran, majalah, hingga televisi itu saya rasa tidak ada yang mengarah ke pekerjaan yang ringan. Toh, profesi kami sama, para pewarta berita.

Sayangnya, di tengah kebutuhan masyarakat semakin banyak, teknologi semakin maju itu justru dunia usaha butuh efisiensi. Jadi bukan hal yang aneh, kalau saat ini reporter diharapkan dapat berkontribusi lebih dari dua-tiga berita.

“Lalu, kenapa kalian masih bertahan atau media tetap eksis?”

Jawaban hal tersebut, saya kira ada di pikiran setiap orang.

dunia

“Jadi sudah siap kalian tanpa media?”

Siapa pun itu, orang yang memilih profesi wartawan, pasti berawal dari passion. Terlepas bagaimana karakter dan etika orang tersebut di kemudian hari.

Perlu saya diakui juga, suatu kebohongan kalau saya katakan, semua media atau wartawan itu bersih. Kendati, mohon diingat, ada sebagian dari semua wartawan itu yang mengikuti “sesuai aturan yang tepat”.

Melalui tulisan ini, saya bukan berniat menghina atau menghakimi para wartawan yang menyalahi aturan. Tidak, karena semua kembali pada sikap dan pedoman hidup kita.

Sebaliknya, saya berharap pandangan masyarakat kepada profesi wartawan dapat berubah.

Tolong, kasih kami kesempatan menunjukkan “eksistensi”, tanpa anda mendiskreditkan profesi wartawan.

Mohon, berikan kami harapan kalau suatu saat anak cucu kami dapat bangga mengetahui perjalanan karir yang kami pilih.

Mohon, jangan anda jatuhkan angan dan gelora kami terhadap karir yang digeluti.

Tolong, jangan buat kami lupa bahwa kami ada untuk kalian: masyarakat.

P.S:
Terima kasih yang mendalam kepada semua orang yang tidak pernah mendiskreditkan pekerjaan kami. Serta, syukur yang teramat dalam juga saya ucapkan, kepada semua pihak yang bersedia sebagai narasumber. Terima kasih atas kepercayaannya, pak/bu….

Jangan lupa untuk bahagia, selalu.

Salam,
Dka

Theme Song: Breathe – Lee Hi

Credit:

Foto satu. Tumblr. Majalah Vogue Girl. Edisi Korea Selatan. Model Park Soo Young.

Foto dua. Tumblr. Spoon Tamago. Moon Light. Nosigner.

Leave a comment